Pertanda
Karya: Rahmi Maghfiroh
Aku
terbangun karena gemuruh suara tikus yang mulai berlarian masuk ke sarangnya. Sudah
berulang kali Mas Kamal, suamiku, mencoba memusnahkan tikus-tikus di rumah ini.
Mulai dari menggunakan jebakan, membongkar sarangnya, sampai menggunakan racun
serangga. Namun usahanya sia-sia, tikus-tikus tersebut akan kembali, menjadikan
atap rumah kami sebagai sarangnya, dan membangunkan kami setiap pagi.
Setiap
kali tikus-tikus tersebut kembali ke sarangnya, aku selalu membangunkan Mas
Kamal. Aku terlalu takut untuk bangun sendirian di rumah ini. Setahun yang lalu
kami membeli rumah ini karena Mas Kamal, yang bekerja sebagai manajer pemasaran
dipindahtugaskan di kota dekat dengan kampung ini.
“Ini
rumah peninggalan Mbah Sun, seorang tokoh agama di kampung ini. Dulu rumah ini
pernah dijadikan tempat untuk meletakkan keranda.” Salah satu tetangga kami
pernah
memberi tahuku mengenai asal usul rumah ini. Sejak saat itulah aku selalu membangunkan Mas Kamal untuk menemaniku memasak. Mas Kamal selalu menasihatiku agar tidak takut lagi. “Sudahlah Mah, keranda itu kan sekarang sudah tidak di sini.” Namun cerita para tetangga membuatku semakin takut.
memberi tahuku mengenai asal usul rumah ini. Sejak saat itulah aku selalu membangunkan Mas Kamal untuk menemaniku memasak. Mas Kamal selalu menasihatiku agar tidak takut lagi. “Sudahlah Mah, keranda itu kan sekarang sudah tidak di sini.” Namun cerita para tetangga membuatku semakin takut.
Pada
dasarnya aku memang penakut. Dan konstruksi rumah tua ini membuatku terkadang
merinding. Atap-atapnya banyak dihuni oleh laba-laba. Temboknya banyak yang
sudah berjamur, bahkan dibeberapa bagian catnya sudah mengelupas. Lantainya
sangat dingin, membuat siapapun yang pertama kali menapakkan kaki akan
berjingkat. Pintunya masih kokoh karena menggunakan kayu jati. Namun sering
kali berderik ketika terkena angin. Kayu-kayu jendelanya sudah termakan usia,
keropos di sana-sini. Hanya bagian dapurlah yang masih sangat baik. Pemilik
sebelumnya telah merenovasi dapurnya atas permintaan Mas Kamal karena dia tahu
aku suka memasak. Sebenarnya aku ingin agar semuanya direnovasi, tetapi Mas
Kamal belum bersedia merenovasi rumah ini. Dia takut jika nantinya dia akan
dipindahtugaskan kembali dalam beberapa tahun mendatang. “Lebih baik seperti
ini, rumah ini kan juga masih layak huni. Besok kalau aku sudah jadi pegawai
tetap, barulah kita renovasi rumah ini,” ucap Mas Kamal ketika kutanyai kapan
tepatnya akan merenovasi rumah ini.
Pukul
08.00, Mas Kamal sudah harus pergi ke kantor. Sebagai istri yang baik, aku
mengantarnya sampai di ujung pintu dan me ncium tangan Mas Kamal sebagai wujud
hormat seorang istri kepada suaminya. Tak jarang ketika Mas Kamal sudah pergi,
aku merasa kesepian. Di rumah tidak ada siapapun, hanya ada perabot yang tak
dapat berkata apapun.
Rumah
ini sepi dan terasa kosong tanpa kehadiran seorang buah hati. Aku merindukan
tangisan seorang bayi, mungkin bukan aku tapi kami. Namun pemikiran semacam itu
secepat mungkin aku tepis. Kami sudah berkomitmen untuk menunda memiliki
seorang anak. Itu semua kami lakukan karena kami merasa belum terlalu banyak
memiliki tabungan untuk masa depan anak kami kelak. Mungkin kami menggunakan
pola pikir modern yang sering dianggap aneh oleh sebagian orang.
Aktivitas
yang kulakukan sepeninggal Mas Kamal biasa-biasa saja, bahkan terkesan monoton.
Mulai dari membersihkan meja makan, mencuci piring, mencuci baju, dan pekerjaan
lain yang biasanya dilakukan oleh ibu rumah tangga. Setelah merasa letih, aku
akan tidur hingga menjelang waktu makan siang, kemudian memasak.
Tubuhku
kurebahkan setelah seharian membersihkan rumah. “Huuhh, rasanya butuh seorang
pembantu agar pekerjaan rumah tidak seberat ini.” Rasanya lelah sekali. Lama
kelamaan mataku terpejam tanpa sadar. Namun tiba-tiba terdengar suara gaduh.
Tikus-tikus berlarian keluar dari sarangnya. “Tidak biasanya tikus-tikus itu
keluar pada siang hari.”
Belum
berakhir rasa heranku, dari arah sebelah terdengar bunyi prakk. “Suara benda
jatuh?” Dalam hatiku bertanya-tanya apa sekiranya benda yang jatuh. Dengan
perasaan was-was aku keluar dan melihat apa yang terjadi. Aneh, genténg di
samping dapur jatuh. Padahal genténg- genténg tersebut terlihat masih baru dan
tertata rapi.
Sekembalinya
Mas Kamal dari pekerjaannya, aku menceritakn semua keanehan yang terjadi hari
ini. Di luar dugaanku, Mas Kamal hanya menanggapinya dengan santai. “Ah, itu
wajar kok. Sudah biasa tikus keluar siang hari. Kamu aja yang terlalu parno
Mah.”
“Tapi
. . . ,” aku berusaha menjelaskan keanehan ini kepada Mas Kamal.
“Sudahlah
Mah, jangan berpikir yang tidak-tidak.”
“Tapi
tidak biasanya tikus-tikus itu keluar siang hari Mas,” pembelaanku hanya
kuucapkan dalam hati karena takut jika masalah sekecil ini akan menjadi petaka
bagi rumah tangga kami. Padahal Mas Kamal belum melihat kondisi atap dapur yang genténgnya tadi jatuh,
tapi... . Ah sudahlah....
Pagi
harinya, kami bangun terlambat. Aneh sekali! Pagi ini tikus-tikus tidak membuat
gaduh sehingga membuat kami tidur dengan lelap. Mas Kamal kubangunkan dan aku
segera memasak karena hari sudah agak siang. Seperti biasa, Mas Kamal pergi ke
teras untuk mengambil koran pagi ini. Tiba-tiba aku mendengar Mas Kamal
memanggil-manggil namaku.
“Ada
apa Mas? Pagi-pagi kok sudah membuat gaduh?”
“Ini
lho Mah, ada air di depan pintu. Baunya kok pesing ya Mah?”
Aku
kemudian mengamati air tersebut. Memang benar bau airnya pesing. Dari hembusan
angin pagi, bau tersebut masuk ke ruang-ruang rumah kami. Tapi aku belum
sepenuhnya yakin bau tersebut berasal dari air yang ada di depan pintu. “Ya
sudah Mas, aku ambil kain pel untuk membersihkan ini.” Belum sampai aku
beranjak dari tempatku berdiri, Mas Kamal mencegahku.
“Jangan
Mah, lebih baik Mas tanyakan dulu pada ayah.”
Mas
Kamal kemudian menelepon ayahnya. Hari ini Mas Kamal terpaksa mengambil cuti
karja karena khawatir akan terjadi apa-apa. Dua jam kemudian, Pak Hasan, ayah
Mas Kamal, datang bersama Ustad Amir. Mas Kamal menceritakan semua kejadian dan
keanehan pagi ini dan yang kualami selama ini. Ustad Amir yang mendengar cerita
Mas Kamal langsung membaca istighfar.
Ustad
Amir meminta izin untuk mengetahui semua ruangan di rumah ini. Tanpa jeda Ustad
Amir selalu memainkan tasbih di tangannya. Terkadang ketika memasuki ruangan,
Ustad Amir melafalkan istighfar dengan keras. Aku dibuat merinding olehnya. Ada
apa sebenarnya dengan rumah ini?
Semenjak
kedatangan Ustad Amir, aku menjadi lebih tenang. Dua hari ini dilewati tanpa
keanehan-keanehan seperti sebelumnya. Tikus-tikus sudah segan untuk keluar dan
mengganggu kami. Bahkan mereka seperti lenyap, sudah tidak ada lagi suaranya di
rumah kami.
Malam
ini terasa berbeda, aku merasa ada sesuatu yang menyelimuti rumah ini. Suhu
udara di rumah ini beda dengan malam-malam sebelumnya, membuat bulu kudukku
berdiri. Aku merasa gelisah, sedikit-sedikit berbaring ke kanan, kemudian ke
kiri, dan seterusnya. Mas Kamal yang melihatku gelisah berusaha untuk
menenangkanku.
“Tenang
Mah, mungkin memang malam ini cuacanya yang sedang dingin.”
“Ah,
laki-laki memang kurang peka! Udara dingin tidak akan membuat bulu kuduk
berdiri seperti sekarang ini,” gumamku dalam hati.
Hingga
pukul 03.00 pagi, aku kembali terbangun. Lagi-lagi suara tikus-tikus yang gaduh
membuatku terbangun. Tikus-tikus saling berkejaran masuk ke sarangnya. “Ini
aneh! Bukankah sudah dua hari ini tikus-tikus itu sudah tak terdengar lagi
suaranya? Mengapa sepagi ini mereka kembali memasuki sarangnya?” Tiba-tiba
pikiranku tentang tikus-tikus tersebut lenyap setelah mendengar suara ketukan
pintu yang keras dari arah depan rumah. “Siapa yang sekiranya pagi buta sudah
bertamu?”
Pintu
kembali diketuk, kali ini bahkan lebih keras dan tanpa henti. Tanpa menunggu
komando, Mas Kamal bangun untuk membuka pintu. Beberapa menit kemudian Mas
Kamal kembali ke kamar dengan wajah kesal.
“Siapa
Mas?”
“Gak
tau Mah, mungkin orang iseng yang berniat mengganggu kita.”
Belum
hilang kekesalan Mas Kamal, pintu kembali diketuk. Mas Kamal tak beranjak dari
tempat tidurnya. Mungkin dia masih kesal. Dari raut mukanya terlihat sekali
bahwa dia masih kesal. Mendengar tak ada yang berniat akan membukakan pintu, si
pengetuk pintu menghentikan aksinya. Beberapa saat kemudian pintu kembali diketuk.
Mas Kamal yang sudah kesal hanya berteriak dari kamar.
“Woy,
kalau mau mengganggu, pergi saja sana!”
Tak
disangka, kali ini ada balasan. “Maaf Kamal, ini Pakdhe Yanto.”
Mengetahui
bahwa yang bertamu ternyata Pakdhe Yanto, Mas Kamal membukakan pintu dan
meminta maaf karena tidak sopan dalam menerima tamu.
“Ah,
tidak apa-apa Kamal, mungkin Pakdhe yang kurang sopan. Sepagi ini ke rumahmu,”
ucap Pakdhe Yanto dengan napas terenggah-enggah, “tapi nak Kamal, Pakdhe mau
mengabarkan bahwa bapak baru saja meninggal karena kecelakaan.”
“Innalillahi,
bapaaak”
0 komentar:
Posting Komentar