Pak
Pandir
Suatu hari Pak
Pandir dan Mak Andih sedang berada di rumah. Mereka tidak pergi ke ladang
karena hujan. Pak Pandir merasa lapar dan meminta Mak Andih membuatkan makanan.
Mak Andih ingat ada pisang muda di dekat dapur. Mak Andih kemudian mengupas
pisang itu satu persatu. Karena sudah merasa lapar, Pak Mandir meminta agar Mak
Andih mempercepat memasak pisangnya. Karena kesal dengan tingkah Pak Pandir,
Mak Andih mempunyai ide. Agar pisang yang masih muda terlihat sudah dimasak,
pisang itu dilumurkan pada punggung kuali dan menjadi hitam seperti sudah
dibakar. Kemudian Mak Andih memberikan pisang itu kepada Pak Pandir. Melihat
pisang itu sepertinya sangat enak, Pak Pandir
langsung mengambil satu dan
segera memakannya. Betapa kesalnya Pak Pandir setelah memakan pisang itu
ternyata yang hitam terlihat seperti sudah dibakar itu ternyata adalah arang
pada punggung kuali dan pisangnya juga masih muda.
Pak
Kadok
Pak Kadok
tinggal di sebuah negeri Chempaka Sari, dimana rajanya bergelar Indera Sari.
Rajanya gemar menyabung ayam. Suatu hari, raja akan mengadakan pesta dengan
menyabung ayam dan Pak Kadok berencana akan mengikutinya. Pak kadok pun membeli
kertas dan menyuruh isterinya untuk membuat sebuah baju. Pak Kadok menyuruh
agar bajunya tidak perlu dijahit, tetapi dilem saja. Walaupun Pak Kadok orang
miskin, akan tetapi dia suka bergaya.
Pak Kadok pergi
ke istana dengan membawa ayam kebanggaannya yang selalu menang, Biri Si Kunani
namanya. Sebelum Pak kadok menyabung ayam, dia diperintah untuk menghadap raja.
Raja meminta agar mereka bertukar ayam. Setelah raja merayu Pak Kadok, mereka
akhirnya bersepakat untuk bertukar ayam. Kemudian raja menanyakan apa taruhan
untuk kali ini. Karena Pak Kadok miskin dan tidak mempunyai apapun, dia
menjawab, “Ampun tuanku patik bukannya berharta yang patik ada cuma
perkampungan patik saja. Maka jika tidak keberatan izinkan patik gadaikan
kampung untuk taruhan kali ini.”
Raja pun
menyetujui taruhannya. Setelah masing-masing melepaskan ayam, ternyata Biring
Si Kunani menang. Melihat Biring menang, Pak Kadok melompat-lompat kegirangan.
Dia lupa jika telah menukar ayamnya dengan ayam milik raja. Karena
melompat-lompat terlalu bersemangat, baju Pak Kadok terlepas. Orang-orang
menertawakan Pak kadok yang telanjang. Karena merasa sangat malu, Pak Kadok
berlari pulang.
“Malang Pak
Kadok, ayam menang, kampung tergadai!” kata raja.
Pak
Lebai Malang
Suatu hari di
sebuah kampung Sumatera Barat hiduplah seorang lelaki tua bernama Pak Lebai.
Suatu hari, Pak Lebai mendapat dua buah undangan di daerah yang berbeda. Pak
Lebai menjadi bingung. Jika ia pergi ke hulu sungai ia akan mendapat hadiah dua
ekor kepala kerbau sedangkan jika ia pergi ke hilir sungai ia hanya mendapat
satu ekor kepala kerbau. Pak Lebai segera berganti pakaian dan mengayuh
sampannya ke hulu sungai. Namun ia bingung, kemudian ia mengayuh sampannya ke
hilir sungai. Lagi-lagi Pak Lebai bingung dan mengayuh sampannya ke hulu
sungai. Sesampainya di sana, Pak Lebai bertanya kepada para undangan bagaimana hidangannya.
Mereka menjawab kalau kerbau yang dipotong terlalu kurus. Tanpa pikir panjang,
Pak Lebai memutar sampannya ke kampung hilir. Namun ternyata pesta yang
diadakan sudah berakhir. Karena tidak mau kehilangan kesempatan, Pak Lebai
kembali mengayuh sampannya ke hulu sungai. Namun ternyata pestanya juga sudah
berakhir. Pak Lebai akhirnya pulang tanpa membawa apapun.
Ketika sampai di
rumah, Pak Lebai berfikir untuk pergi memancing dan membawa anjingnya. Ia juga
tidak lupa membawa bekal makan siangnya. Sesampainya di sungai, Pak Lebai
segera melempar kail, tak lama kemudian ternyata umpannya dimakan seekor ikan.
Namun malang, mata kailnya tersangkut batu. Pak Lebai kemudian segera terjun ke
sungai dan mengambil ikan yang memakan umpannya. Ketika sampai di dasar sungai,
ternyata ikan itu sudah terlepas. Pak Lebai akhirnya kembali tanpa membawa
ikan. Menjelang senja, Pak Lebai mulai merasa lapar, namun lagi-lagi ia
mendapat sial karena bekal yang dibawanya ternyata sudah dimakan oleh
anjingnya.
Pak
Belalang
Pak Belalang
dengan tiga anaknya hidup sangat kekurangan. Disebut Pak Belalang karena anak
tertuanya bernama Belalang. Suatu hari, ia ingin memperoleh makan. Ia menyuruh
anaknya untuk menyembunyikan kerbau. Kemudian ingin menyuruh anaknya untuk
memberitahukan kepada warga, bagi yang ingin mengetahui di mana kerbau mereka,
mereka harus bertanya kepada ayahnya, Pak Belalang. Keberhasilan Pak Belalang
menebak tempat kerbau berada membuat ia mendapat beras, padi, tembakau, dan
ikan sebagai hadiahnya. Kemudian Pak Belalang terkenal sebagai orang yang
pandai bertenung (peramal).
Suatu hari, raja
kehilangan tujuh peti berisi barang berharga. Pak Belalang lalu dipanggilnya
dan jika ia tidak dapat menebak maka ia akan dibunuh. Sampai di rumah, Pak
Belalang berbaring sambil menghitung roti yang dimasak isterinya. Selesai pada
hitungan ketujuh dengan takdir Allah muncullah ketujuh pencuri peti raja.
Kemudian Pak Belalang membawa ketujuh pencuri ke istana dan menyerahkannya pada
raja. Atas keberhasilan itu, Pak Belalang mendapat hadiah banyak sekali dan
mendapat gelar ahli nujum dari raja.
Sekali lagi Pak
Belalang diancam dengan ancaman bunuh jika ia tidak dapat menebak apa yang ada
ditangan raja. Pak Belalang tidak dapat menebaknya. Sambil mengis mengenang
anaknya yang bernama Belalang, ia pun berkata, “Matilah aku, tinggallah,
anakku, Belalang.” Dan ternyata yang digenggam raja adalah seekor belalang. Setelah
itu Pak Belalang ingin mengakhiri sandiwaranya, ia berencana akan membakar
rumahnya dan mengatakan pada raja jika surat-surat ilmunya juga terbakar.
Sehingga raja tidak akan mengejarnya untuk menebak-nebak lagi. Setelah rumahnya
terbakar Pak Belalang tidak bekerja lagi dan ia mendapatkan semua kebutuhan
hidupnya dari raja secara gratis.
Abu
Nawas dan Pukulan yang Menjadi Dinar
Pada suatu hari
Abu Nawas datang ke istana. Ia bercerita dengan sultan dengan gembira.
Tiba-tiba sultan menyuruh Abu Nawas membawa ibunya ke istana. Jika ia berhasil,
sultan akan memberinya hadiah seratus dinar. Abu Nawas tak menyangka jika
sultan menyuruhnya untuk membawa ibunya, padahal sultah tahu kalau ibunya sudah
meninggal. Namun Abu Nawas tetap menyanggupinya.
Abu Nawas
kemudian pergi menyusuri kota untuk mencari seorang ibu angkat. Kemudian ia
bertemu seorang penjual kue apem dan meminta ibu itu untuk menjadi ibu
angkatnya. Abu Nawas menceritakan tentang perintah sultan dan berjanji akan
membagi dua hadiah itu. Ibu itupun menyetujuinya. Setelah itu Abu Nawas
menyerahkan tasbih dan menyuruh ibu itu untuk terus menghitung biji tasbih
meskipun di depan sultan dan jangan menjawab pertanyaan yang diajukan sultan.
Keesokan harinya
Abu Nawas datang ke istana dengan menggendong wanita tua. Setelah duduk, ibu
itupun menghitung biji tasbih tanpa henti dan tidak pernah menjawab pertanyaan
dari sultan. Sultan merasa tersingggung karena ibu itu tidak menjawab
pertanyaannya satupun. Abu Nawas berkata, “Ya tuanku Syah alam, suami ibu patik
ini 99 banyaknya. Beliau sengaja menghafal nama-nama mereka satu persatu, dan
tidak akan berhenti sebelum selesai semuanya.”
Begitu mendengar
pernyataan Abu Nawas, ibu itu marah dan memohon ampun karena telah membohongi
sultan. Sultan hanya tertawa mendengar pengakuan dari ibu itu dan menyuruh
pengawalnya memukul Abu Nawas seratus kali karena tidak dapat memenuhi
janjinya. Abu Nawas mengatakan kalau hadiah yang diterimanya akan dibagi dua
dengan ibu itu. Jadi jika dia mendapat hukuman seratus kali pukulan, ibu itu
juga harus mendapat lima puluh kali pukulan. Karena merasa kasihan kepada ibu
itu, sultan akhirnya memberikan uang lima puluh dinar dan berpesan agar tidak
mudah percaya kepada Abu Nawas. Abu Nawas merasa perlakuan sultan tidak adil,
ia berkata, “Ya tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun, jika ibuku telah mendapat
anugerah dari paduka, tidak adil kiranya bila anaknya ini dilupakan begitu
saja.”
Sambil tersenyum
sultan memberi lima puluh dinar kepada Abu Nawas. Semua orang tertawa dalam
hati.
0 komentar:
Posting Komentar